SEJARAH KERAJAAN LANDAK
A. CERITA RAKYAT LANDAK
a.
Pulang Palih dan Dara Hitam
Dara Hitam adalah seorang anak
tunggal Patih Gumantar. Patih Gumantar adalah, orang yang berpengaruh di
zamannya. Ia dianggap sebagai seorang raja kecil, yang hidup mewah dan jaya.
Karena jayanya banyak kerajaan kecil yang merupakan tetangga dari kerajaan yang
di perintah oleh Patih Gumantar ingin merebut kerajaannya. Zaman itu terjadi
pada masa masih perang Kayau-Mengkayau. Kerajaan Miaju nekat untuk merebut
kerajaan Patih Gumantar dengan mengerahkan kekuatannya yang lebih besar
daripada kekuatan kerajaan patih Gumantar dan Kerajaan Miaju berhasil
mengalahkan Kerajaan Patih Gumantar. Tengkorak Kepala Patih Gumantar telah
terkayau, oleh Miaju dan di bawa ke kerajaannya. Tengkorak hasil kayauan adalah
memiliki satu khasiat penting dalam hidup bertani dan lain-lain lagi bagi suku
Dayak. Tengkorak itu harus disimpan dengan penjagaan yang ketat. Jika hilang
maka hilanglah segala khasiat dan kemujuran seluruh sukunya. Tengkorak Patih
Gumantar teleh disimpan dalam Tajo Tarus Raja Biayu, di jaga ketat jangan
sampai hilang.
Dara Hitam tumbuh semakin besar dan
dewasa dan telah menjadi “ Balian “, yang merupakan seorang dukun yang
disenangi oleh rakyatnya. Ramuan kayu-kayuan dan akar-akar kayu hutanlah yang
menjadi obatnya. Hingga saat ini campuran ramuannya masih berlaku untuk Suku
Dayak sekampungnya.
Dara Hitam sering di undang oleh
penduduk di kampungnya maupun dari daerah kampung lain yang menjadi tetangga
kampungnya untuk berdukun. Ia di undang ke kampung tetangganya di dekat Sungai
Tenganap, daerah Tembawang Selipat kampungnya. Perdukunan yang dilaksanakan
oleh Dara Hitam sering kali berlangsung hingga berminggu-minggu, menurut adat.
Pada masa perdukunannya, selalu ia
pergi turun mandi ke Sungai Tenganap yang mengalir melewati perumahan raja
Pulang Palih. Pada saat Dara Hitam mandi, terlepaslah sehelai rambut panjang,
panjang sekali ukurannya sehingga memenuhi sebuah bokor kuningan ringan hanyut.
Benar-benar telah hanyut terbawa air melewati pengawal raja Pulang Palih yang sedang
mandi juga. Mereka melihat isi dari bokor tersebut adalah rambut semuanya,
sehingga mereka berusaha untuk menarik bokor tersebut karena penasaran.
Kemudian seorang pengawal menarik rambut tersebut yang tidak ada titik ujungnya
sehingga hal ini di kabarkan kepada raja Pulang Palih. Raja Pulang Palih
menjadi keheranan dengan kejadian tersebut dan berniat ingin mencari pemilik
dari rambut tersebut. Akhirnya raja berunding dengan pengawalnya, akhirnya
mereka berkesimpulan bahwa, pemilik dari rambut tersebut berada di sepanjang
hulu sungai tersebut. Kemudian berangkatlah raja dan juga para pengawalnya
menuju hulu sungai yang akhkirnya mereka menemukan sebuah rumah yang rapi,
tanda sedang berdukun menurut adat suku Dayak. Anak buah raja mencoba bertanya
tentang ada penduduk dari desa tersebut yang memiliki rambut panjang seperti
yang ditunjukannya kepada seorang anak yang sedang menimba air. Dan dari
bertanya kepada anak tersebut, maka pengawal memperoleh informasi tentang
pemilik dari rambut yang ditemukannya pada beberapa hari sebelumnya di hilir
sungai tersebut. Anak yang meniba air di sungai tersebut mengatakan bahwa
pemilik dari rambut tersebut sedang berdukun, dan kemudian informasi ini
dimanfaatkan oleh Raja Pulang Palih. Beliau berpura-pura sakit dalam sampan.
Dan beliau berdiam diri di dalam sampan, sedangkan pengawalnya pergi untuk
menemui Dara Hitam dan meminta pertolongan darinya untuk menolong Pulang Palih
yang sakit di dalam sampan. Karena sifat dari Dara Hitam yang penolong maka
Dara Hitam bersedia untuk pergi ke sampan dimana Pulang Palih sedang sakit. Ia
bergi dengan ramuannya, pada saat ia melangkahkan kakinya kesampan tersebut,
pengawal Pulang Palih memutuskan tali sampan dan berkayuh sekuat tenaga. Sampan
melaju dengan cepat, menyebabkan Dara Hitam menyerah kepada kemauan Raja Pulang
Palih yang sebenarnya.
Dara Hitam telah masuk kedalam
perangkap Raja Pulang Palih, Dara Hitam tidak dapat berbuat apa-apa, ia
meninggalkan daerah Tembawang Selimpat tempat ia berasal, menuju daerah
Tembawang Ambator. Raja Pulang Palih adalah berasal dari keturunan raja Banten.
Akhirnya Dara Hitam dan Raja Pulang Palih tiba ke Pelabuhan Sungai Sepatah,
daerah Tembawang Ambator Anggarat.
Dara Hitam di sambut meriah oleh
seluruh isteri Raja Pulang Palih. Raja Pulang Palih mulai merayu Dara Hitam,
segala mengenai latar belakang Dara Hitam di pertanyakannya dengan manis.
Kemudian Raja Pulang Palih mengutarakan keinginannya, yaitu ingin menikahi Dara
Hitam. Dengan perasaan yang halus dan tidak bermaksud untuk menolak Raja Pulang
Palih secara kasar maka Dara Hitam meberikan tantangan yang harus dilaksanakan
oleh Raja Pulang Palih, apabila ingin mempersunting dirinya yaitu dengan kata:
“ Kalau kiranya raja sanggup mengembalikan tengkorak kepala bapak saya,
bolehlah raja mengawini saya “. Hal ini dimaksudkan menolaknya secara halus,
agar raja tidak bisa menikahinya dengan adanya tantangan tersebut karena Dara
Hitam mencintai Riya Sinir.
Namun hal berbeda terjadi, Pulang
Palih mengajak dan memaksa Dara Hitam untuk mau menikah dengannya. Paksaan yang
sulit bagi Dara Hitam untuk menolak, karena keadaanya yang terpojok. Dara Hitam
selalu mengajukan, sebagai bukti syahnya perkawinan, maka raja harus berhasil
mengambil tengkorak ayahnya. Karena selalu dituntut oleh Dara Hitam, terpaksa
raja berusaha, berikhtiar mendapatkannya. Raja mengumpulkan seluruh rakyatnya
untuk meminta pendapat tentang hal ini. Mereka berunding dengan kesimpulan
harus membuatkan satu jong yang dapat bermuatkan perlengkapan perang, hal ini
karena mereka telah mengetahui bahwa kepala ini tentu disimpan dan di jaga
ketat. Untuk mendapatkannya harus mengadakan perlawanan yang sengit. Raja
memerintahkan untuk mencari kayu yang paling baik untuk jong, rakyat memilih
kayu merbau. Kayu ini oleh orang di luar kerajaan ini kayu Melabo. Kemudian
mereka pergi untuk mencari kayu tersebut dan menemukan daerah tepi sungai
Sepatat yang memiliki jenis kayu tersebut.
Zaman batu masih menguasai mereka,
segala alat terbuat dari batu. Mereka mengambil kampak batu, menuju pohon kayu
merbau, dengan susah payah mereka berusaha menebangnya namun tidak berhasil.
Pada saat itu cara menggunakan kampak tersebut masih sukar sekali, mereka
mengikatkan kampak batu dengan tali rotan kesebelah kayu gagangnya. Kayu di
tebang , hampir dari setengah kayu tersebut terpotong, kemudian hari menjelang
malam sehingga menghalangi mereka untuk menyelesaikan pemotongan kayu tersebut,
sehingga mereka pulang. Pada pagi harinya mereka datang untuk menyambung
tugasnya memotong kayu yang belum terpotong semua pada hari sebelumnya. Namun
mengherankan, kayu yang telah setengah terpotong pada hari sebelumnya tertaut
kembali seperti sediakala.
Namun, mereka tidak berputus asa walaupun mereka telah
merasa heran dengan kejadian itu. Kayu di tebang lagi, setelah sore hari
ternyata kayu tertebang hanya setengah bagian seperti pada hari sebelumnya.
Mereka meninggalkannya dan pulang. Keesokan harinya mereka kemabali dan melihat
kayu dalam keadaan yang sama seperti hari sebelumnya saat mereka ingin
menyelesaikan pemotongan kayu itu. Akhirnya mereka menjadi kecewa dan tidak
melanjutkan pekerjaan tersebut. Sehingga keinginan dari raja untuk membuat jong
harus dibatalkan dengan keadaan yang seperti itu sehingga raja mencari
alternatef lain.
b.
Pulang Palih dan Riya Sinir
Yang dikecewakan dalam peristiwa ini
adalah Pulang Palih dan Riya Sinir dalam permasalahan yang menyangkut keinginan
dari Dara Hitam. Dalam kekecewaan ini Dara Hitam ikut campur menuangkan
pendapatnya tentang bagaimana menebang kayu tersebut agar berhasil. Untuk
menebang kayu tersebut. Raja menerima tawaran ini. Riya Sinir diundang, pesuruh
raja telah mendatangi kampung halaman Riya Sinir, mengundangnya sopan. Kemudian
karena Riya Sinir memiliki sifat yang penolong maka tanpa komentar ia berangkat
menuju istana raja Pulang Palih. Ia menghadap raja, kemudian raja menawarkan
untuk menebang kayu merbau untuk dijadikan jong kepada Riya Sinir. Riya Sinir
mengatakan, “ saya akan coba, tetapi mungkin tidak bisa, sebab anak buah raja
saja tidak bisa apalagi saya “. Setelah mengatakan hal tersebut Riya Sinir
dianjurkan mencoba oleh raja, setelah mendengar perkataan raja maka ia pergi
untuk melakukan permintaan tersebut. Hanya dengan dua kali ayunan kampak maka
tumbanglah pohon merbau tersebut sehingga membuat rakyat dan raja menjadi
terheran-heran. Setelah menebang pohon tersebut, Riya Sinir berpamitan pulang
kepada raja dan raja memulai mengerjakan jong yang dilakukan oleh rakyatnya.
Akhirnya jong tersebut selesai dan pada saat jong tersebut ingin diluncurkan ke
air, jong tersebut tidak bergerak. Yang membuat raja memanggil kembali Riya
Sinir karena keadaan itu. Maka datanglah kembali Riya Sinir untuk menolong
raja, namun kali ini ada syarat yang mesti disiapkan oleh raja yaitu
menyediakan tujuh orang perempuan yang sedang hamil tua untuk dijadikan
bantalan jong. Pertama raja merasa aneh dan takut namun karena itu wajib maka
raja bersedia menyediakan syarat yang diinginkan oleh Riya Sinir.
Namun Riya Sinir menambahkan syarat
lagi kepada raja yaitu tujuh buah telur ayam yang pertama kali dari ayam yang
baru bertelur, tiga gantang uang logam, campuran perak dan uang timah. Semuanya
ini tidak boleh ditawar. Jika ditawar pasti rencana ini gagal seluruhnya.
Sehingga raja berusaha untuk memenuhi syarat tersebut demi kesusesannya
memenuhi syarat Dara Hitam, agar ia bisa menikahi Dara Hitam.
Syarat yang diminta telah disiapkan
oleh raja dengan lengkap. Ketujuh perempuan mengandung rebah tidur terlentang
berjejer di depan jong. Jong akan meluncur melalui ketujuh perut berisi tersebut.
Maka meluncurlah jong tersebut dengan melesat cepat, namun ketujuh perempuan
mengandung tidak mengalami apa-apa, namun merasa lebih sehat dari sebelumnya.
Telur ayam, ketujuh terlur tersebut dieramkan dan semuanya menetas dan langsung
berkokok.
Raja berjanji akan mengaruniakan
sesuatu untuk Riya Sinir, apabila berhasil membawa Tengkorak Patih Gumantar.
Dengan hati-hati pada malam setelah Riya Sinir berangkat mengambil mengambil
tengkorak ayah Dara Hitam.
Riya Sinir sengaja
menghambur-hamburkan uang yang dibawanya di tempat penduduk Miaju mengambil
air. Ada uang yang sengaja di ikatkan dan dilempar ke atas pohon beracun.
Jongnya di jauhan hingga kehilir. Pada saat pagi tiba maka berkerumunlah
penduduk Miaju mengetahui uang bertaburan dimana-mana. Sehingga dengan mudahnya
bagi Riya Sinir untuk mengambil tengkorak Patih Gumantar di dalam Tajo Tarus.
Sehingga Riya Sinir berhasil menjalankan tugasnya dan kembali ke istana raja
Pulang Pali.
Persiapan raja, adalah mendandan
semua istrinya yang berjumlah enam orang selain Dara Hitam, karena raja ingat
akan janjinya kepada Riya Sinir. Sengaja raja menyembunyikan Riya Sinir di
dapur dan ditutupi dengan arang, karena kejadian ini perempuan yang dicintai
raja Pulang Palih maupun Riya Sinir bernama Dara Hitam.
Setibanya Riya Sinir di Istana maka
ia menyerahkan tempayan yang berisi Tengkorak Patih Gumantar kepada raja. Riya
Sinir menuntut janji dari raja sehingga Riya Sinir dengan sekerat sirih dengan
mantranya berubah menjadi kunang-kunang, dan Riya Sinir berkata: “ Kepada siapa
kunang-kunangku ini hinggap, ialah yang menjadi istriku.”
Akhirnya kunang-kunang tersebut
menuju kedapur dimana Dara Hitam disembunyikan dan hinggap pada Dara Hitam.
Dari cerita ini maka yang berhak menjadi isteri Riya Sinir adalah Dara
Hitam. Sementara Raja Pulang Palih sangat kecewa. Sehingga Raja berpesan: “
Riya Sinir, tak akan kutahankan pilihanmu, hanyalah saya mohon kiranya
kandungan Dara Hitam, melahirkan seorang lelaki, ia adalah anakku. Namun, bila
ia melahirkan seorang perempuan, biarlah ia menjadi anak Dara Hitam.” Hal ini
dijawab dengan Riya Sinir “ Ya.” Kemudian Riya Sinir dan Dara Hitam pulang ke
kampungnya.
c.
Kelahiran Anak Kembar
Beberapa bulan kemudian lahirlah
anak kembar dari Dara Hitam. Keduanya anak laki-laki. Lahirnya kedua anak ini,
terkenanglah Riya Sinir akan pesan sang raja. Karena kejujuran hatinya, ia
mengirimkan berita mengundang raja datang. Berangkatlah raja dengan perasaan
yang gembira bersama pengawal-pengawalnya. Sebelum raja tiba Riya Sinir telah
memberikan nama masing-masing: “ Lutih “ untuk anak sulung dan “ Kari “ untuk
anak kedua. Setibanya raja, iapun langsung member nama lagi sesuai idamannya.
Yang sulung “ Dulkasim “ dan yang kedua diberi nama “ Dolkahar “.
Riya Sinir dan raja berunding untuk
kedua anak ini. Bagi sang raja mau, keduanya untuk dia saja. Demi keadilan
untuk Riya, kedua anak itu harus salah satu tinggal dengan Riya. Riya Sinir
mengusulkan agar anak yang sulung yang menjadi anaknya. Tapi bagi raja
memberikan satu cara menentukan. Kedua anak ini di bawa ke halaman yang terkena
panas matahari, yang menangis pertama ialah anak pulang. Maka, dilaksanakanlah
hal tersebut namun keduanya menangis sehingga keduanya menjadi anak raja. Nama
kedua anak tersebut menjadi persoalan. Akhir dari perundingan raja Pulang Palih
dengan Riya Sinir akhirnya menggabungkan kedua nama yang diberikan oleh mereka
berdua. Yang tua namanya “ Lutih Dolkasim “ dan yang kedua “ Kari
Dolkahar “ (Kari Abdul Kahar).
d.
Pembagian Daerah
Dua puluh lima tahun kemudian, kedua
anak ini menjelang dewasa, inginlah mereka pembagian daerah. Maka rakyatnya
membagi kedua daerah untuk masing-masing sebagai berikut: Lutih Dolkasim,
diangkat menguasai daerah Daya yaitu daerah darat hulu sedangkan Kari Dolkahar,
diangkat menguasai seluaruh daerah pantai laut.
Maka dengan demikian di buatlah perjanjian dan
ditetapkan dengan adat, yang disaksikan rakyat sebagai saksinya. Sebuah batu
untuk Lutih Dolkasim dan sebuah batu juga untuk Kari Dolkahar. Batu ini sebagai
saksi seumur hidup rakyat suku ini. Manusia boleh berlalu/meninggal dunia,
tetapi batu tetap setia pada tempatnya. Batu tanda perjanjian pembagian daerah,
masih berada di tempatnya hingga saat ini. Batu tersebut telah dianggap keramat
bagi masyarakat asli daerah tersebut. Sebuah batudi tanam di darat, dan sebuah
batu telah dibuang ke air sungai, di tapal batas daerah.
Upacara adat meneguhkan perjanjian
ini, yang dihadiri oleh seluruh rakyat daerah tersebut. Di dalamnya tercantum
sumpah seumur hidup, tidak boleh dirubah. Bunyinya sebagai berikut:
1) Hidup harus
tolong-menolong.
2) Harus hidup
mempertahankan keamanan rakyat dan desa.
3) Tidak boleh hidup
tipu-menipu.
4) Harus jujur dan adil.
5) Harus hidup setali
sedarah.
Selesai mereka mengucapkan sumpah, batu
saksi dari Lutih Dolkasim ditanam di hadapan rakyat di depan halaman rumah
panjang di kampung Jering. Kemudian mereka menaiki sampan, mencari tempat batas
daerah. Satu buah batu di bawa oleh Kari Dolkahar, untuk dijatuhkan ke dasar
sungai. Untuk saksi keduanya membawa dua orang saksi yang bernama Rantos dan
Rangga. Beberapa kali mereka gagal menjatuhkan batu yang dibawanya ke sungai
karena nama-nama sungai yang mereka ketahui dan datangi memiliki pengertian
yang kurang baik dan ada sikap saling curiga antara kedua saudara ini.
Sungai-sungai tersebut adalah :
1)
Sungai Lubuk Belambang, timbul kecurigaan dari Lutih
Dolkasim: “ Kalau-kalau nanti Daya Laut ngambang. (akan hidup saling curiga
antara keduanya).
2)
Sungai Kodak. Tanggapan mereka “ Nanti akan timbul ancam-mengancam
diantara kedua suku ini.”
3)
Sungai Lubuk Sengaras. Tanggapan mereka “ Takut
kalau-kalau kedua suku ini akan saling keras kepala. “
4)
Sungai Lubuk Melano. “ Curiga, kalau-kalu nanti kedua
suku ini akan Belato-Pangil-memanggil dan kacau. “
5)
Sungai Lubuk Suwal. “ Takut kalau nantinya kedua
keturunan ini akan berjual beli dan terjadi tipu-menipu diantara mereka.”
6)
Sungai Lubuk Riam Pauh. “ Nanti kedua keturunan ini
hidup berjauh-jauhan.”
7)
Sungai Lubuk Penolos. “ Di takutkan kalau kedua
keturunan ini akan hidup saling menghina.”
8)
Sungai Lubuk Sepat. Disinilah akhirnya mereka
melakukan ritual perjanjian diantara mereka dengan menjatuhkan batu ke dasar
sungai oleh Kari Dolkahar. Saksi mereka adalah Rotos dan Rangga. Sepat sendiri
menurut arti masyarakat sekitar adalah sipat yang artinya ini sangat baik untuk
tempat berpisah. Dan dimulailah upacara sumpah diantara mereka dengan
disaksikan oleh dua orang saksi. Sumpah yang diucapkan oleh keduanya adalah
sumpah yang benar-benar jujur dari keduanya yang dilakukan di kampung Jering,
dengan bunyi: “ Daya salah Daya mati, Laut salah Daya mati. “ sehingga
menimbulkan protes dari Lutih Dolkasim dan kedua saksi kepada Kari Dolkahar,
yang meminta agar Kari Dolkahar mengulang kembali sumpahnya, namun karena batu
tersebut sudah terlanjut dijatuhkan ke dasar sungai yang dalam sulit untuk
mengambilnya sehingga untuk mengulangi kata-kata Kari Dolkahar yang salah dan
tidak jujur untuk jujur sulit dilaksanakan.
Lutih Dolkasim sekembalinya ke
kampung halamannya, ia diangkat memangku jabatan sebagai Kepala rakyatnya,
dengan gelar Patih Permula. Pemerintahannya sangat teratur dan dibantu oleh
saudara-saudaranya Riya Sinir dan disebut Kerajaan di Darat. Dalam
usaha/pemerintahan selalau Demokrasi dan dikerjakan secara gotong-royong.
B. BERDIRINYA
KERAJAAN LANDAK
Kerajaan landak pertama kali
diperintah oleh seorang raja yang bernama Raden Ismahayana dengan gelar Raja
Dipati Karang Tanjung Tua (1472 – 1542). Setelah beliau menganut agama Islam
terlenalah ia dengan gelar Abdulkahar. Beliau adalah anak dari Raden Kesuma
Sumantri Indra Ningrat Ratu Angkawijaya Brawijaya VII yang terkenal dengan nama
Pulang Pali VII.
Kerajaan ini mulanya sewaktu dalam
pemerintahan Pulang Palih VII berkedudukan di Ningrat Batur di sungai Terap
(sungai Mandor). Sekarang oleh Dayak Kendayan menyebutnya Ambawang Bator.
(Ambawang artinya peninggalan). Oleh puteranya, Raden Abdulkahar memindahkan
pemerintahannya dari Ningrat Batur ke munggu terletak di persimpangan sungai
Landak dan sungai Menyuke. (Karena kerajaan ini terletak di tepi sungai Landak
maka dinamailah Kerajaan Landak).
Dalam Pemerintahan Anam Jaya Kesuma
(1600) adiknya puteri Mas Jaintan dikawinkan dengan Sultan Muhammad
Syafeuiuddin, raja Tanjungpura-Matan. Pada masa inilah ke dua kerajaan ini
mencapai masa gemilang. Kerajaan Landak di kenal dengan Intan Kobinya.
a.
Intan Kobi
Menurut Historisnya kerajaan tertua
di Kalimantan Barat adalah Tanjungpura-Matan, Mempawah, Sambas, Landak dan
sebagainya. Yang terakhir berdiri adalah Kesultanan Pontianak. Kebanyakan
kerajaan-kerajaan di Kalimantan Barat kecuali Kesultanan Pontianak, telah ada
hubungannya dengan kerajaan Majapahit. Bahkan menjalin kekeluargaan sekaligus.
Riwayat Intan Kobi merupakan cukilan
historis Kalimantan barat yang ada hubungannya antara Kerajaan Landak,
Tanjungpura, Sambas, Mataram dan Banten. Kemudian juga berhubungan dengan
penguasa-penguasa Kolonial. Setelah raja Muhammad Syafeiuddin meninggal
yang merupakan raja Matan. Maka kedudukannya digantikan oleh Ratu Mas Jaintan,
Istreri dari raja yang berasal dari Kerajaan Landak. Hal ini terjadi karena
putera mahkota masih kecil, sehingga dengan naik tahtanya ratu Mas Jaintan
bergelar Ratu Sukadana. Pemerintahan tahun 1600, lebih merupakan bertambah
eratnya hubungan kekeluargaan Kerajaan Matan dengan Kerajaan Landak.
Kedua kerajaan ini mengalai kemajuan yang pesat, karena terjadinya
perdagangan antara pedagang-pedagang local dengan pedagang-pedagang yang datang
dari luar kerajaan ini. Intan Kobi adalah hasil bumi Kerajaan Landak yang
menarik perhatian pedagang-pedagang dari luar. Kabar tentang Intan Kobi sampai
ke luar negeri.
VOC pertama kali mendatangi kerajaan
Tanjungpura pada tahun 1604. Maksud kedatangannya tidak lain hanya untuk
melihat dan jika di ijinkan ingin membeli intan kobi. Inggris juga datang dan
meminta ijin mendirikan kantor dagangnya di Matan. Tahun 1622, pada masa masih
pemerintahan Ratu Sukadana. Sultan Agung dari Kerajaan Mataram memerintahkan
Bupati Kendal Baureksa untuk menyerang kerajaan Tanjungpura untuk merebut Intan
Kobi di Sukadana, Baureksa gagal pada serangan pertama namun pada serangan
keduanya berhasil menawan Ratu Sukadana (1625). Kemudian Ratu Sukadana
diasingkan ke Jawa, hal ini di sebut “ Pinggit “. Dan wafat disana, setelah
wafat jenazah Ratu Sukadana di bawa kembali ke Sukadana, namun nama Intan Kobi
telah berubah menjadi Intan Danau Raja.
Pada masa pemerintahan Sultan
Zainuddin (1700) terjadi perselisihan antara Kerajaan Matan dengan Kerajaan
Landak tentang masalah Kepemilikian intan kobi. Landak menuntut agar intan
kobinya dikembalikan karena memang milik pusakanya. Sukadana berkeras karena
intan kobi telah lama di tangan mereka maka menjadi milik mereka. Akhirnya
perang saudara terjadi, perang pertama di menangkan oleh kerajaan Tanjungpura,
sebab mereka di bantu oleh Inggris.
Raja Landak, Pangeran Anom Jaya
Kesuma Bersama Ratu, Nyai Mas Nawi bergelar ratu Bangkok, di Tawan oleh
kerajaan Matan. Kemudian kerajaan Landak meminta bantuan kepada Kerajaan Banten
untuk menyerang Kerajaan Tanjungpura, maka Banten bersedia membantu. Pada saat
itu juga Belanda yang sudah eksis di Banten ingin menghancurkan kedudukan
Inggris di Sukadana, sehingga terjadi koalisi diantaranya walaupun Belanda
secara tidak langsung membantu namun hanya secara kebetulan satu misi. Dari
perang antara Landak yang dibantu Banten dan Belanda berhasil mengalahkan
Kerajaan Tanjungpura dan Inggris di Sukadana. Sehingga Raja Tanjungpura
mengungsi ke Kota Waringin, Kalimantan Tengah.
Karena adanya ikatan kekekuargaan
maka diadakanlah perjanjian antara kerajaan Matan dengan Kerajaan Landak
dibuktikan dengan dua buah meriam tanda penyerahan Kerajaan Tanjungpura kepada
Kerajaan Landak, dan kemudian Meriam ini di bawa ke Kerajaan Landak bersama
dengan raja Landak yang ditawan pada pertama kali Perang antara kerajaan Landak
dengan Kerajaan Tanjupura.
Meriam tanda damai perang antara
Kerajaan Tanjungpura dengan Matan, memiliki dua macam bentuknya yaitu Sebuah
berganggang, dinamai meriam lelaki di panggil Kiyai Sumi dan sebuah lagi
dianggap perempuan dan di beri nama Ratu Desturi. Keduanya sangat keramat
hingga saat ini.
Dalam perkawinan Adipati Nata Kesuma
dengan puteri Mas Adi melahirkan seorang putera yang bernama Raden Demang,
kemudian bergelar Dipa Negara. Dipa Negara kawin dengan Raden Ratna Dewi Puteri
dari Sultan Muhammad Syafeiuddin I. Keduanya melahirkan seorang puteri yang
bernama Utin Kumala bergelar Ratu Agung yang kawin dengan raja Sambas, Sultan
Akamuddin. Beliau terkenal dengan gelar Marhum Adil.
Perang Saudara yang terjadi antara
Kerajaan Tanjungpura dengan Kerajaan Landak menjadi perang intervensi, karena
perang ini, Imprealisme Belanda menggunakan kesempatan. Kerajaan Banten
menghancurkan Kerajaan Sukadana, sekalipun berusaha mematahkan saingannya E.I.C
sementara berhasil oleh Belanda namun hanya sementara karena selanjutnya
Sukadana bangkit kembali.
Pada abad ke-XIX, raja-raja Landak
merasa dirugikan oleh Imprealisme Belanda. Kemudian raja-raja Landak memimpin
raknyatnya mengadakan pemberontakan terhadap Imprealisme Belanda. Terkenal
dengan pemberontakan Ratu Adi pada tahun 1831 dan Gusti Kandut pada tahun 1890.
Kedua pemberontakan ini berhasil di patahkan. Sembilan tahun kemudian 1899 di
bawah pimpinan Gusti Abdurrani di bantu Panglima Daud, Panglima Anggu I dan
Ja’Bujang mengadakan pemberontakan terhadap Belanda.
Pemberontakan ini tidak berhasil,
namun usaha-usaha untuk melawan belanda tidak kunjung henti hingga pada waktu
kebangkitan Gerakan Nasional dan juga pada waktu Perang Kemerdekaan 17 Agustus
1945.
C.
PENINGGALAN KERAJAAN LANDAK
Peninggalan-peninggalan dari
Kerajaan Landak yang ada sampai saat ini adalah sebagai berikut :
1. Bangunan
keraton, yang terbagi menjadi tiga bagian bangunan yaitu bangunan Istana
sebagai tempat tinggal Raja, bangunan tempat tinggal permaisuri yang terletak
disayap sebelah kanan komplek keraton, dan bangunan tempat tinggal keluarga
raja yang terletak disebelah belakang bangunan istana. Keraton ini didirikan
pada masa pemerintahan Pangeran Sanca Nata Kusuma (Muda) pada permulaan abad
ke-18.
2. Bangunan
tempat tinggal pengawal kerajaan yang terletak disayap sebelah kiri komplek
keraton.
3. Masjid Jami
Keraton Landak yang terletak disamping komplek Keraton Landak. Masjid ini
dibangun pada masa pemerintahan Gusti Abdul Azis yang terletak di tepi sungai
Landak. Tapi saat ini Keraton berubah bentuknya setelah dipugar dan tidak
termasuk lagi cagar budaya karena berubah unsur bangunan dan materialnya dari
semula.
4. Komplek
makam Raja Landak dan makam Raja di Mungguk, bangunan rumah Tua bekas tempat
tinggal para pengawal kerajaan Landak yang terletak disekitar komplek Keraton
Kerajaan Landak.
5. Empat buah
meriam yang terletak didepan bangunan Keraton.
6. Tiang
Bendera dihalaman Keraton
7. Empat buah
lampu gantung masing-masing terletak diteras, ruang tamu, dan ruang tengah
banunan Keraton.
8. Alat musik
gong
9. Alat
permainan tradisional conggak
10. Peralatan
untuk upacara perkawinan keturunan Raja Landak
11. Payung
kebesaran Kerajaan Landak
12. Peralatan
makan berupa garpu dan sendok
13. Induk lontar
kerajaan Landak berisi silsillah Raja-raja Landak